Kekuatan Doa dan Perjalanan Jatuh Bangun Ninik Dalam Bisnis

KOMPAK - Nikmatus Saumi (berjilbab hijau) bersama para pendiri Simpati, Amrullah (kiri), Ona (kedua dari kiri) dan Okti (kanan). Foto: surya/sunarko
Tahun 2004 adalah masa tersulit bagi perusahaan yang didirikan oleh Nikmatus Saumi (43) dan rekan-rekannya. Saat itu, PT Simpati Communications (SC) mendadak kehilangan salah-satu pendiri dan penggerak utamanya karena meninggal dunia. Order SC langsung anjlok. Dan, yang tak diduga, sejumlah karyawan membawa lari uang perusahaan. Bisnis SC pun oleng, di ambang kebangkrutan. Siang itu, Nikmatus Saumi tak sanggup berbicara sepatah kata pun. Ia hanya membatin dengan pandangan lesu ke arah layar komputer di hadapannya. Bagian keuangan baru saja memberitahunya bahwa kas perusahaan tinggal tersisa Rp 50.000.

NINIK (panggilan akrab Nikmatus Saumi) menahan tangis di dalam hati. Sebab, bersamaan dengan kinerja perusahan yang merosot, ia masih harus memberesi utang dengan sejumlah pihak akibat uang jutaan rupiah titipan kliennya dibawa lari oleh dua karyawannya yang tak ketahuan rimbanya.

Saat itu, pertengahan 2004, di Simpati Communications (SC) yang didirikan Ninik dan beberapa kawannya masih ada 12 karyawan yang menggantungkan nasibnya pada perusahaan. Namun, satu per satu karyawan kemudian mengundurkan diri secara sukarela karena kondisi keuangan perusahaan terus memburuk. Tinggal lima karyawan bertahan.

“Sejak didirikan pada 1996, baru tahun 2004 itu perusahaan kami menghadapi ujian paling sulit. Bahkan, saya dan para pimpinan lain di Simpati sudah nyaris berkesimpulan perusahaan ini tak lama lagi akan bangkrut,” tutur Ninik, Direktur Utama PT Simpati Communications, ketika berbincang dengan Surya di kantornya di Jalan Raya Gayungsari Barat, Surabaya, beberapa waktu lalu.

Menurut perempuan kelahiran 1968 ini, ujian serius itu datang tiba-tiba setelah penggagas dan salah-satu pendiri SC, yaitu Armei, meninggal dunia. Padahal, Armei bukan hanya salah-satu pendiri, tapi juga penggerak utama bisnis SC.

“Koneksi mas Armei luas. Dia juga sumber kreatifitas di perusahaan. Simpati kan bergerak di jasa agensi periklanan dan public relations (PR) sehingga koneksi dan kreatifitas amat dibutuhkan. Meninggalnya mas Armei menjadi pukulan besar bagi kami,” kata Ninik yang saat berbincang dengan Surya didampingi Sri Fatonah dan Amrullah. Ketiganya merupakan personel yang kini tersisa dari sembilan orang pendiri, dan merupakan orang-orang kunci di manajemen SC sekarang.

Simpati, kata Amrullah, didirikan oleh para wartawan Surabaya dan Malang di masa booming pasar modal pada pertengahan 1990-an. Saat itu, banyak perusahaan yang hendak menjual sahamnya ke masyarakat (go public). Perusahaan-perusahaan itu membutuhkan konsultan komunikasi dan PR untuk menaikkan citranya di mata publik/calon investor. Sementara di sisi lain, konsultan komunikasi masih sangat langka.

“Menangkap peluang itu, dengan berbekal pengetahuan dan pergaulan sebagai wartawan ekonomi, sembilan wartawan, termasuk saya, mengundurkan diri dari perusahaan media masing-masing. Kami lantas mendirikan Simpati tepat pada 27 Juli 1996,” tutur Ona –panggilan sehari-hari Sri Fatonah.

Bergerak di bidang PR dan agensi periklanan, pada awalnya para klien SC adalah para narasumber yang pernah diwawancarai saat sembilan orang itu masih wartawan.

“Sebagai wartawan, kan kami mengenal banyak pimpinan perusahaan serta orang-orang penting di kalangan bisnis. Bahkan, kantor kami disediakan cuma-cuma oleh narasumber-pengusaha yang berhubungan baik dengan kami,” cerita Ninik, lulusan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Dr Soetomo, Surabaya.

Tak ayal, belum lama berdiri, permintaan terhadap jasa SC datang mengalir. Keadaan kantor SC pun jadi agak berubah. Setelah awalnya semua pekerjaan –mulai administrasi, pembukuan hingga pencarian order— dirangkap oleh sembilan pendiri itu, memasuki tahun kedua SC sudah bisa merekrut karyawan. Para pendiri tinggal bertugas mencari order dan lobi.

“Awalnya para pendiri sekaligus pemegang saham merangkap pula sebagai karyawan, bahkan office boy. Sebab, tidak ada orang lain selain kami bersembilan,” ujar Ninik sembari tertawa.Dua tahun pertama, SC sudah berhasil membeli dua mobil operasional. Itu sudah mencerminkan kemelesatan bisnis mereka kala itu, yang bermodal tekad.

Namun, sebagaimana para pemula bisnis yang sukses dalam waktu cepat, sebuah sistem perusahaan yang baku tak terlalu dipikirkan. Pokoknya, semua serba gerudukan. Individu-individu kemudian jadi lebih menonjol daripada sistem. “Kelemahan itu baru terasa tatkala mas Armei meninggal,” kata Ninik.

Amrullah merasakan bagaimana dirinya nyaris patah semangat melihat kondisi perusahaan yang amat berat sepeninggal Armei. Order bisnis masih harus dicari pontang-panting –yang itu bisa didapat, bisa juga tidak. Kalau order tidak didapat, berarti telah keluar biaya operasional, yang berarti pula makin membebani keuangan.

“Uang pribadipun ikut terpakai untuk membiayai operasional perusahaan,” kata Ninik. Padahal, bersamaan dengan masa susah SC itu, ekonomi rumah tangga Ninik sendiri lagi goyah karena suaminya baru saja di-PHK dari sebuah bank nasional. Akhirnya Ninik, Amrullah dan Ona pilih bertahan. Satu hal yang membuat Ninik ngotot untuk tidak menutup perusahaan adalah ketika ia teringat nasib dua anak kecil yang ditinggalkan almarhum Armei.

“Saya merasa, kalau saya bisa membangkitkan kembali Simpati, ini bukan semata soal bisnis. Tapi ini karena kami `dititipi` Allah dua anak mas Armei yang masih kecil-kecil itu. Mereka yatim, dan tentu butuh biaya hidup. Akhirnya, meski kondisi perusahaan sudah Senin-Kamis, istri mas Armei juga saya dekati. Saya suruh dia ikut kerja di kantor. Apapun lah pekerjaannya, yang penting agar dia tak terus menangis dan meratapi nasibnya sejak ditinggal mas Armei,” tutur Ninik tentang Ny Oktinasih –janda Armei.

Selain `titipan` dua anak kecil almarhum Armei, ada petuah orangtua yang dipegang teguh Ninik yang membuatnya terus bertahan dengan Simpati. Bapaknya menasehati bahwa usaha dan ikhtiar saja tidaklah cukup, tapi harus diiringi doa. Dan, keduanya mesti dilakukan dengan yakin (madep), manteb (sungguh-sungguh) serta istiqomah (telaten-konsisten).

“Soal berhasil atau tidak, Allah yang akan mengatur,” kata Ninik, menirukan ucapan sang ayah. Akhirnya, selain gigih keliling mencari order dengan naik sepeda motor (karena semua mobil operasional kantor sudah dijual untuk menutupi utang), Ninik dan rekan-rekannya di Simpati mulai menerapkan kebiasaan baru. Setiap hari mulai pukul 08.00 hingga 09.00 diadakan istighotsah di kantor Simpati di Graha Pangeran.

Hari berganti hari, bulan berganti bulan. Ternyata usaha ditambah istighotsah harian belum membawa dampak bagi kinerja perusahaan sampai sekitar empat bulan kemudian. “Bahkan, ada karyawan yang mempertanyakan efektifitas istighotsah itu. Dia bilang, berdoa perlu tapi tidak harus secara harian di kantor,” jelas Ninik

Meskipun sempat dianggap tak logis dan disepelekan, di tengah kesulitan tersebut, Ninik –begitu panggilan akrab Nikmatus Saumi— berusaha ajeg menggelar istighotsah harian di kantor SC sebelum jam kerja pada pukul 08.00. Karyawan SC, yang saat itu tinggal lima orang, sempat mempertanyakan pengaruh ritual itu bagi kemajuan perusahaan.

“Bahkan, ada beberapa orang dari perusahaan-perusahaan lain yang juga berkantor di gedung yang sama dengan kami, bertanya-tanya `ada apa kok tiap pagi karyawan Simpati pengajian, kenapa kok bukan mengadakan rapat atau briefing pagi saja`,” tutur Ninik, menirukan pertanyaan sejumlah orang yang menganggap nyeleneh kebiasaan rutin di Simpati tersebut.

Namun, Ninik punya keyakinan, kerja keras dan ikhtiar duniawi saja tidak cukup untuk mengatasi masalah amat berat yang dialami perusahaannya. Dari hitung-hitungan matematis, persoalan yang dihadapi perusahaan begitu luar biasa. Tidak mungkin hanya andalkan upaya manusia untuk menyelesaikannya.

“Kalau melihat kondisi perusahaan saat itu, rasanya seperti tidak masuk akal bahwa akhirnya Simpati masih hidup dan malahan berkembang cukup pesat saat ini,” ucap Ninik, Direktur Utama SC. Bagaimana tidak, pada pertengahan 2004 itu, duit kas perusahaan tinggal puluhan ribu karena order makin seret sepeninggal Armei –salah-satu pendiri yang juga penggerak utama roda bisnis SC.

“Sudah begitu, utang tersebar di mana-mana akibat pembayaran dari klien dibawa kabur karyawan, yang entah ke mana larinya. Aset Simpati kala itu juga tak bisa diandalkan nilainya,” tutur Ninik saat berbincang dengan Surya beberapa waktu lalu.

Tapi, Ninik mencoba yakinkan rekan-rekan pimpinan dan lima karyawan yang masih bertahan. “Saya katakan, asal kita membarengi usaha keras kita dengan ketekunan doa, Allah tidak akan tinggal diam. Insya Allah, Allah akan menolong,” demikian Ninik memotivasi timnya.

Namun, ketika sudah berjalan beberapa bulan, usaha keras dan istighotsah itu tak membawa dampak berarti bagi kemajuan perusahaan, Ninik pun sempat goyah: apakah terus mempertahankan perusahaan namun dengan kondisi berdarah-darah ataukah ditutup saja.

Dihadapkan pada dilema, muncul nasehat kepada Ninik untuk bertahan, sabar, dan terus melanjutkan ritual istighotsah itu. “Saya diberitahu orangtua bahwa doa itu mirip investasi. Hasilnya bisa jadi tidak dipetik seketika atau dalam waktu dekat, tapi pasti ada hasilnya meskipun dalam jangka panjang. Semakin banyak berdoa, semakin besar investasi yang kita tanam, dan tentu bisa semakin banyak hasil yang kita tuai di kemudian hari,” jelas Ninik.

Untuk kesekian kali, motivasi Ninik rupanya bisa membesarkan hati rekan-rekannya dan para karyawan Simpati. Ninik berdalih, ketika kinerja perusahaan berada di titik nadir, maka yang dibutuhkan adalah kekompakan. Ninik percaya, istighotsah adalah cara yang ampuh untuk menjalin kekompakan, terutama kekompakan batin. Jika kekompakan batin terbentuk, maka akan muncul secara otomatis kekompakan lahir.

Inti istighotsah itu kan kita berdoa meminta pertolongan Allah. Kalau muncul kekompakan, kerja akan jadi lebih ringan, pikiran tenang. Dalam suasana demikian, kreatifitas dan ide-ide baru akan muncul. Setidaknya, sejak istighotsah harian itu, suasana kantor dan batin kami jadi adem meskipun order masih seret,” imbuh Amrullah, salah-satu direktur di SC, yang ikut mengalami masa-masa susah.

Berkat kegigihan Ninik dkk, akhirnya pada bulan keempat istighotsah, pintu-pintu rezeki mulai terbuka. Saat itu sekitar awal tahun 2005. Ninik sendiri sampai terheran. Biasanya, bila Simpati memasukkan tawaran ke perusahaan, apalagi skala besar, jawaban umumnya baru datang sebulan. Tapi, beberapa perusahaan ternyata memberi jawaban untuk deal dengan Simpati hanya dalam waktu beberapa hari.

Akhirnya, pertengahan 2005 Simpati mulai pulih kinerjanya. Klien terus mengalir datang. Bahkan, pada tahun 2006 Simpati berhasil mendirikan divisi baru, yakni Simpati Event Organiser (SEO). Jika Simpati berkantor pusat di gedung bertingkat Graha Pangeran, SEO menempati kantor terpisah, sebuah ruko yang telah mampu dibeli Simpati seharga Rp 1 miliar.

Kini, di antara klien Simpati adalah perusahaan-perusahaan go public ternama. Antara lain Semen Gresik, Indospring, Siantar Top, Trias Sentosa, Gunawan Dianjaya Steel, juga sebuah perusahaan asing (dari Malaysia). Kondisi perusahaan yang sudah bangkit dari keterpurukan itu membuat Ninik terharu sekaligus bangga. Apalagi, ketika beberapa waktu lalu, nama Simpati masuk dalam daftar agensi periklanan yang menjadi tiga besar penyumbang pemasukan (billing) iklan di sebuah media cetak nasional ternama.

Namun, Amrullah mencoba merendah ketika ditanya tentang pencapaian Simpati tersebut. “Sebetulnya, kami ini sedang-sedang saja. Kami masih perlu banyak meningkatkan diri. Tuntutan klien makin meningkat serta beragam, dan itu harus kami antisipasi. Persaingan di bisnis agensi periklanan juga makin ketat. Namun, tentu saja, kami sangat mensyukuri bahwa kami melewati masa-masa sulit dan bisa menjadi seperti sekarang,” kata Amrullah.


Sunarko-Surabaya
http://www.surya.co.id

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Kekuatan Doa dan Perjalanan Jatuh Bangun Ninik Dalam Bisnis"

Posting Komentar